OFFICE: Jl. Perwira II No. 42 Kedamaian - Bandar Lampung CONTACT PERSON : 08117226668 - 081274170533 - 081278196840

Senin, 27 Oktober 2014

SERENDIPITY

Hidup ini bukanlah tentang mengumpulkan nilai. Bukan tentang berapa banyak orang yang menelponmu dan juga bukan tentang siapa pacarmu, bekas pacarmu, atau orang yang belum kau pacari. Bukan tentang siapa yang telah kau cium, olah raga apa yang kau mainkan, atau cowok atau cewek mana yang menyukaimu. Bukan tentang sepatumu, atau rambutmu atau warna kulitmu atau tempat tinggalmu atau sekolahmu atau kampusmu.

Bahkan juga bukan tentang nilai-nilai ujianmu, bukan tentang uang, baju, atau perguruan tinggi yang menerimamu atau yang tidak menerimamu. Hidup ini bukan sekedar apakah kau memiliki banyak teman, atau apakah kau seorang diri, dan bukan tentang apakah kau diterima atau tidak oleh lingkunganmu.


Hidup bukan sekedar tentang itu.

Namun, hidup ini adalah tentang siapa yang kau cintai dan kau sakiti. Tentang bagaimana perasaanmu terhadap dirimu sendiri. Tentang kepercayaan, kebahagiaan dan welas asih. Hidup adalah tentang menghindari rasa cemburu, iri hati, mengatasi rasa tidak peduli, dan membina kepercayaan. Tentang apa yang kau katakan dan yang kau maksudkan. Tentang menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimilikinya. Dan yang terpenting, hidup ini adalah tentang memilih untuk menggunakan hidupmu untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain. Hidup adalah pilihan-pilihan itu...

Ya, bagi saya pribadi, hidup ini adalah tentang memilih untuk menggunakan hidup saya untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain. Ketika saya mulai mengenali hal itu, saya pun mulai menggunakan hal itu sebagai salah satu misi hidup saya yang terpenting—menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak bisa digantikan dengan cara lain ataupun oleh orang lain.

Dan hidup ini begitu menakjubkan, bukan? Ketika kita telah menemukan misi kita dalam hidup ini, maka hidup ini pun akan membawakan begitu banyak hal baru bagi kehidupan kita—hal-hal baru yang akan semakin memperkaya batin kita sekaligus mendewasakan nalar kemanusiaan kita.

Ketika kita membuka pintu hati kita untuk orang lain, maka kehidupan pun akan membukakan pintunya untuk kita. Dan jika kehidupan telah membukakan pintunya untuk kita, maka tak ada seorang pun yang dapat menutupnya kembali.

Ketika kehidupan telah membentangkan pintunya untuk kita, tak ada lagi batas yang memisahkan antara diri kita dengan hidup—kita menyatu bersamanya. Dan apakah yang lebih indah selain menyadari bahwa kita telah bisa menyatu dengan hidup...?

Salah satu misteri dalam kehidupan ini adalah sesuatu yang dalam literatur Barat disebut sebagai ‘serendipity’. Secara definitif, saya tidak dapat menemukan arti atau makna dari kata itu. Saya sudah mencoba mencari arti dari kata itu di buku kamus bahasa Inggris, bahkan yang paling lengkap, namun tidak ada. Saya sudah mencoba mencarinya di kamus elektronik di komputer saya, namun ketika saya mengetikkan kata itu, arti yang muncul dari ‘serendipity’ adalah ‘serendipas’. Nah, saya juga tidak tahu apa itu serendipas—saya pikir itu salah satu kosakata bahasa Indonesia yang tidak dikenal. Maka saya pun mencoba mencarinya di KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Namun hasilnya nihil. Kamus yang besar itu sama sekali tak memuat suku kata ‘serendipas’. Rupanya, arti ‘serendipity’ itu sendiri sudah mengandung kemisteriusan tersendiri.

Nah, apa sesungguhnya serendipity itu?

Saya sudah mencoba mendefinisikannya dalam sebuah kalimat berdasarkan pengertian dan pemahaman saya akan kata itu, namun tetap saja saya tak mampu mendefinisikannya dengan simpel dan baik. Saya sudah mencoba mencarinya dalam ratusan buku yang sekiranya memuat kata itu beserta definisinya, namun tidak juga berhasil menemukannya. Satu-satunya kalimat yang bisa dirujukkan untuk menjadi definisi dari kata serendipity adalah sebuah kalimat yang ditulis oleh Kahlil Gibran dalam bukunya yang agung, The Prophet.

Di dalam The Prophet, saya menemukan kata-kata, yang bagi saya, mampu melukiskan apa yang disebut sebagai serendipity itu. Inilah kata-katanya, “Jangan mengundang makan orang kaya ke rumahmu. Kau akan dibalas dengan undangan makan ke rumahnya. Undanglah orang miskin untuk makan ke rumahmu. Mereka tidak bisa membalasmu, maka alam yang akan membalasmu. Dan bila alam membalasmu, maka tunggulah datangnya keajaiban...”

Kata-kata yang ditulis Gibran itu bukanlah definisi untuk kata serendipity, tetapi kata-kata itulah yang menurut saya paling tepat untuk dijadikan sandaran bagi pendefinisian kata serendipity—salah satu misteri kehidupan yang agung itu.

Jadi, sekali lagi, apakah serendipity itu? Sekarang kita mulai memiliki suatu bayangan—bahwa ketika kita mengulurkan tangan pada orang lain yang tak mampu membalas uluran tangan kita, maka kehidupan ini yang akan membalasnya—kehidupan akan mengulurkan tangannya kepada kita. Dan jika kehidupan ini mengulurkan tangannya kepada kita, persoalan apa yang tak dapat kita atasi...?

Begitu pun sebaliknya. Ketika kita melakukan kejahatan terhadap orang lain yang tak mampu membalas kejahatan kita, maka kehidupan ini yang akan membalasnya—kehidupan akan membalaskan kejahatan yang setimpal. Dan jika kehidupan ini melancarkan pembalasan kepada kita, kemanakah dapat bersembunyi, dan siapa yang sanggup menolongnya...?

Ketika kita semakin menyelami kehidupan, kita akan semakin tahu betapa menakjubkannya hidup ini dan betapa ajaibnya cara kehidupan mengatur dan menjalankan aturan-aturannya. Tanamkanlah biji mangga ke dalam bumi yang kita tinggali, maka biji mangga itu tidak akan menumbuhkan pohon durian—ia akan menumbuhkan pohon mangga, sesuai dengan biji benihnya. Begitu pun, segala hal dan perbuatan yang kita tanamkan dalam hidup ini, maka tepat seperti itulah yang akan diberikan hidup untuk diri kita. Jika kita menanamkan kebaikan, maka hidup akan memberikan kebaikan. Jika kita menanamkan kejahatan, maka hidup pun akan memberikan hal yang sama. Sebagaimana biji mangga tidak akan menumbuhkan pohon durian, tepat seperti itulah kehidupan yang kita jalani ini, ia hanya merefleksikan apa yang telah kita tanamkan kepadanya.

Selama bertahun-tahun saya menyaksikan dan terus menyaksikan, betapa hidup yang kita jalani ini tak pernah berubah menjalankan hukum-hukumnya yang abadi. Saya menyaksikan seorang kawan yang melakukan tabrak lari, dan sekian waktu kemudian ia pun menjadi korban tabrak lari. Saya menyaksikan lelaki-lelaki yang memperdaya perempuan dengan hartanya, dan kemudian kehidupan ini pun memperdaya lelaki-lelaki itu hingga benar-benar tak berdaya. Saya menyaksikan perempuan-perempuan yang mengkhianati cinta kekasihnya, dan bertahun-tahun kemudian—bahkan ketika si perempuan itu telah lupa pada pengkhianatannya—kehidupan ini menjungkirkannya ke dalam lubang jeram pengkhianatan.

Begitu pun, saya menyaksikan tangan-tangan yang pemurah, yang penuh ketulusan terulur kepada setiap orang yang membutuhkan, dan saya membuktikan bahwa kehidupan pun selalu mengulurkan tangan kepadanya. Tangan yang mengulurkan bunga yang harum kepada orang lain akan ikut berbau harum, meskipun bunga itu telah berpindah tangan, bukan?

Ketika kita menyadari hakikat hidup yang semacam itu, kita pun tak akan lagi mengatakan bahwa hidup ini tidak adil. Hidup sudah berlaku dengan sedemikian adil—ia hanya menumbuhkan benih yang ditanam, ia hanya merefleksikan apa yang pernah kita berikan.

Apakah kalau kau menyakiti seseorang, kemudian orang itu pasti akan membalas menyakitimu? Belum tentu! Tetapi saya hampir bisa memastikan bahwa suatu saat akan ada orang lain yang akan datang dalam hidupmu dan kemudian menyakitimu. Kau akan menerima sesuatu yang tepat sama seperti yang pernah kau berikan—tak peduli kau menyadarinya ataukah tidak.

Begitu pun ketika kau membahagiakan hati seseorang, atau membantu kesulitan seseorang. Mungkin orang yang kau tolong itu tidak mampu membalas kebaikanmu. Tetapi kau bisa membuktikan bahwa ketika kau sendiri membutuhkan pertolongan, selalu ada orang-orang yang akan datang menolongmu—tak peduli kau menyadarinya ataukah tidak.

Hidup ini tidak buta. Ia selalu melihat tangan mana yang mengulurkan bunga kepada orang lain, ia pun selalu menyaksikan tangan mana yang menancapkan duri kepada orang lain. Siapa yang mengulurkan bunga akan ikut mendapatkan wanginya, siapa yang menancapkan duri akan ikut berdarah. Karena hidup ini sudah sedemikian adil, rasanya kita pun perlu menjalaninya dengan adil pula, bukan?

Terkadang, cara kehidupan ini membalas perbuatan kita tidak persis sama dengan apa yang (pernah) kita lakukan, namun bahwa pembalasan itu ada, itu adalah fakta—dan itulah yang disebut serendipity.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar