Khawatir
tentu bukan sikap yang keliru. Karena khawatir atau takut itu merupakan
bagian dari fitrah manusia. Tetapi, sebagai Muslim kita tidak boleh
berlebihan dalam menyikapi berbagai macam isu yang muncul di media bahwa
akan terjadi ‘kekacauan’ ekonomi, sehingga terbesit niat negatif.
Andaikata
isu itu terbukti, sebagai Muslim kita tetap harus pada ke-Islam-an kita
dengan penuh kesungguhan. Sebab, Allah yang Maha Memelihara alam ini
tidak mungkin akan membinasakan hamba-hamba-Nya yang benar-benar
beriman.
Tetaplah
menjadi Muslim yang beriman dan bertakwa, jujur, bekerja secara
profesional, penuh tanggung jawab dan perkuat niat mencari nafkah untuk jihad fi sabilillah
bukan bermegah-megahan. Sebab rizki yang didapat dengan peras keringat,
penuh daya dan upaya, lagi halal, sungguh amat dicintai Allah dan
Rasul-Nya.
Hindarilah
berbagai macam spekulasi yang bisa mendorong lemahnya akal untuk
berfikir jernih di atas landasan iman. Jauhi pemikiran-pemikiran dangkal
yang bersumber dari angan-angan kosong. Atau prasangka-prasangka yang
membuat hati was-was, ragu dan bingung, sehingga lupa bahwa Allah pasti
akan menolong hamba-Nya.
Tawakkal Kepada Allah
Persoalan
ekonomi (rizki) sesungguhnya perkara mutlak yang telah Allah tetapkan
bagi setiap manusia, baik dia beriman maupun kafir.
Artinya,
sebagai Muslim, hendaknya kita tidak terpengaruh dengan isu apa pun.
Sekalipun ada fakta bahwa ekonomi bangsa akan mengalami masalah, hal itu
harus menjadi media penting untuk semakin memperkuat iman dan takwa
dengan bertawakkal kepada Allah Ta’ala.
Karena
sebelum ada prediksi macam-macam dari dunia kekinian tentang ekonomi
dan lain sebagainya, secara Ilahiyah kehidupan setiap Muslim pasti akan
berhadapan dengan kesulitan berupa; sedikit ketakutan, kelaparan,
kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan.
وَلَنَبْلُوَنَّكُمْ
بِشَيْءٍ مِّنَ الْخَوفْ وَالْجُوعِ وَنَقْصٍ مِّنَ الأَمَوَالِ
وَالأنفُسِ وَالثَّمَرَاتِ وَبَشِّرِ الصَّابِرِينَ
“Dan
sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan,
kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita
gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS: al-Baqarah [2]: 155).
Dengan
demikian maka, kesulitan atau pun ketakutan akan sesuatu dan kekurangan
terhadap sesuatu sudah menjadi bagian dari kehidupan setiap Muslim.
Jadi, untuk apa kita ragu, gelisah, bingung dan kalut?
Tetaplah dalam iman dan takwa dengan benar-benar bertawakkal kepada-Nya.
وَعَلَى اللّهِ فَتَوَكَّلُواْ إِن كُنتُم مُّؤْمِنِينَ
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (QS. Al-maidah [5]: 23).
Dalam ayat lain Allah tegaskan,
قُل لَّن يُصِيبَنَا إِلاَّ مَا كَتَبَ اللّهُ لَنَا هُوَ مَوْلاَنَا وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ
“Katakanlah:
“Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah
ditetapkan Allah untuk kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada
Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS. At-Taubah [9]: 51).
Kuatkan Keyakinan Kepada Janji Allah
Imam Ghazali dalam kitab terakhirnya, Minhajul Abidin mengutip pernyataan indah Sayyidina Ali Karamallahu Wajhah; “Engkau
mencari rizki Allah dari sisi selain-Nya. Engkau merasa itu akan
membuatmu aman dari waktu dan kemalangan. Engkau bisa percaya pada
jaminan orang lain meski ia kafir, tapi engkau tak percaya dengan
jaminan rizki yang diberikan oleh Allah. Engkau nampaknya tidak membaca
apa yang tertulis di dalam Kitabullah (mengenai rizki), sehingga imanmu
lemah dan goyah (dalam mempercayai janji Allah).”
Dengan
kata lain, semakin sulit situasi kehidupan dunia ini maka harusnya
semakin mendorong diri untuk lebih giat dalam membaca, mengkaji,
mentadabburi, mentafakkuri dan menggali makna-makna penting yang
tersembunyi dari setiap barisan ayat-ayat suci-Nya.
Jika
tidak, maka kita akan terombang-ambing isu kekinian yang sebenarnya
hanya bersifat sementara. Sementara, kehidupan kita adalah kehidupan
yang harus benar, lurus, tegak di atas nilai iman dan Islam dalam
situasi dan kondisi apa pun.
Untuk
itu, meyakini janji Allah adalah perkara mutlak. Dan, meyakini janji
Allah itu mustahil akan semakin terpatri dalam diri kita, bila kita
tidak benar-benar ‘akrab’ dengan al-Qur’an.
Pahamilah, Rizki itu Sudah Ditetapkan
Dalam Minhajul Abidin Imam Ghazali mengutip satu hadits Nabi, “Sudah
tertulis di punggung ikan dan banteng tentang rizki si fulan. Maka
orang yang tamak tidak akan mendapatkan tambahan selain kepayahannya.”
Hadits
ini memberikan petunjuk bahwa setiap Muslim jangan terjebak bujuk rayu
nafsu dan setan. Rizki itu sifatnya pasti, selama ada kehidupan maka
pasti ada rizki. Tamak alias rakus hanya akan menghasilkan kepayahan.
Lihatlah
ke penjara, betapa mereka yang dulu tersenyum karena bisa korupsi, kini
menangis dan bersedih hati. Sekiranya mereka jujur, tentu tidak perlu
menghabiskan masa tuanya dalam penjara. Semua itu adalah bukti bahwa
rakus hanya akan membawa pelakunya pada penderitaan.
Bahkan, Imam Ghazali menyampaikan nasehat gurunya, “Sesungguhnya
apa yang ditakdirkan sebagai makanan yang engkau kunyah, maka tidak
akan dikunyah oleh orang lain. Maka, makanlah bagian rizkimu itu dengan
mulia, jangan engkau memakannya dengan hina.”
Jadi,
mari siapkan diri dan keluarga kita untuk semakin dekat kepada
Al-Qur’an, sehingga semakin kuat iman dan takwa kita kepada-Nya, semakin
kokoh ketawakkalan kita kepada-Nya. Karena hanya dengan itulah, kita
akan semakin percaya diri menjadi Muslim.
Semakin
sulit kehidupan dunia harus mengantarkan kita dan keluarga untuk
semakin yakin kepada janji Allah, termasuk soal rizki. Karena hakikat
hidup ini hanyalah untuk beribadah kepada-Nya (QS. 51: 56).
الَّذِي خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً وَهُوَ الْعَزِيزُ الْغَفُورُ
“Yang
menjadikan mati dan hidup, supaya Dia menguji kamu, siapa di antara
kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.” (QS. Al-Mulk [67]: 2).
Apa
pun yang terjadi, suka atau duka, hakikatnya satu, yakni hanya ujian.
Maka tetaplah dalam keyakinan penuh atas segala janji Allah dengan tetap
melakukan amal-amal yang terbaik di sisi-Nya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar