Ketika ia berhenti
menjadi juru tulis di kantor pengacara, ia pindah ke Paris dan menetap
di istana seorang bangsawan. Kepindahannya ke Paris bertahun-tahun
menarik perhatianku terutama setelah aku amati ia menjadi koresponden
koran terkenal. Lama aku mengikuti tulisan-tulisannya yang dimuat di
koran “Le Messager” dan koran “Le Moniteur” yang laris di Paris. Setelah aku ketahui ia mulai lagi menulis novel dan sandiwara, aku tak sabar lagi menemuinya.
Meski istana bangsawan itu adanya di Rue saint-Jacques, aku yang tinggal di Rue de la Fontaine
merasa tak keberatan datang dua hari sekali kesana, mengintai-intai di
luar istana, menunggu kesempatan bisa bertemu empat mata dengannya. Aku
biasanya hanya menunggu di jalan Alles de Bierre tempat biasa
kereta kuda yang membawa ia dan sang bangsawan lewat. Aku berulang-ulang
meninggalkan pesanku pada Kabir, pesuruh depan istana, yang setiap hari
membuka tutup pintu gerbang setiap kereta kuda itu keluar masuk. Aku
tabah menunggu sepanjang pesan-pesan itu belum berbalas.
Barulah suatu sore aku lihat Kabir
berlari-lari ke arahku. Ia membawa berita baik. “Besok siang kau
ditunggu di kedai anggur Valia,” kata pesuruh berkulit gelap itu.
Wajahku seketika cerah. Segera aku berikan dua Frank untuk Kabir atas jerih payahnya menolongku.
Jam duabelas siang keesokan harinya, aku
sudah duduk tenang di salah satu meja di kedai anggur Valia. Kedai
anggur ini sebenarnya tidak cukup terkenal di Paris, selain karena
letaknya di jalan sepi, mungkin karena pemiliknya tak cukup modal untuk
memasok anggur-anggur terbaik. Namun aku sempat berpikir pula kenapa
Dumas memilih kedai ini untuk menemuiku. Apakah ia menganggapku kurang
terhormat? Atau mungkin ia tak ingin dipergoki oleh kalangannya,
kalangan pergaulannya yang terhormat yang kebanyakan para pria dan
wanita terhormat di Paris, ia takut bahwa ia sedang menemui aku,
seseorang dari kelas paria. Jika demikian, berarti Dumas benar-benar
telah mengabaikanku. Kehormatan yang telah ia dapatkan bisa jadi telah
mengubahnya, namun semua tetap saja tak bisa menghapus jejak masa kecil
kami saat pernah bersama-sama hidup seatap dalam asuhan Bapak
Florentere. Padri itulah yang memelihara kami di Marseille hingga kami
beranjak remaja.
Di kedai ternyata aku dibuat lama menunggu. Lewat jam dua siang barulah teman terhormatku itu datang.
Dari pintu kedai aku melihat kedatangannya dan di pelupukku Dumas Davy tampak sudah tak bersemangat memandangku.Tak apa.
Aku sengaja berdiri tegak. “Davy!” kataku menyambutnya dengan dua tangan ingin memeluk. “Apakah kau masih mengenalku?”
Teman terhormat bernama lengkap Dumas Davy
de la pailletirie dan bernama pena Alexandre Dumas itu hanya mengangguk
tak antusias. Ia bahkan tak ingin memelukku meski sudah sepuluh tahun
kami berpisah. Namun aku coba tak kecewa dengan sikapnya itu. Segera aku
tuang anggur untuk kami berdua dari botol yang telah aku pesan sejak
tadi.
Ada apa gerangan, Calpierre? Bersusah payah kau kejar-kejar aku hingga di sini.”
“Aku memang tinggal di sini. Sudah lama juga Marseille aku tinggalkan. Rumahku di Autevil. Tepatnya di Rue de la Fontaine.”
“Oh,” mata Dumas berkeliaran memperhatikan
penampilanku. “Kau jauh lebih kurus sekarang dan selera berpakaianmu
semakin buruk juga. Apakah kau butuh pekerjaan hingga perlu mencariku?”
Aku nyaris tersedak anggur mendengar
kata-kata Dumas yang menurutku penghinaan. Tapi tak apa, sekuat-kuatnya
aku mencoba menahan diri. “Tidak. Aku tidak butuh pekerjaan dari
siapapun,” jawabku. “ Aku sudah berbahagia dengan keadaanku sekarang.
Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Sebenarnya ini sudah lama
sekali.”
“Dumas mengangkat gelas anggur dan mulai minum. “Sesuatu?”
“Ya.”
“Semoga bukan hal-hal yang merepotkanku.
Ketahuilah, aku sedang sangat sibuk akhir-akhir ini. Aku menjalankan
pekerjaan berkelas sekarang.”
“Aku tahu. Siapa yang tidak kenal kau, seorang penulis yang sedang naik daun.”
Wajah Dumas diliputi kesenangan mendengar aku memujinya.
“Apalagi bulan-bulan ini, Pierre. Aku
sengaja pindah ke sini untuk menyiapkan novel baruku,” ujar Dumas
kemudian seolah ingin menjelaskan betapa sedang sibuknya ia di Paris.
Perubahan perangai Dumas yang drastis tak
sedikitpun mempengaruhiku. “Pasti itu novel yang hebat,” pujiku
antusias. “ Ketahuilah, aku selalu mengikuti tulisan-tulisanmu
akhir-akhir ini. Dari situlah aku kemudian berharap. Aku tidak bisa
menulis. Jadi aku hanya berharap kepadamu.”
“Aku?”
“Ya!” Aku segera mengeluarkan bergulung-gulung kertas yang selalu aku bawa.
“Apa itu, Pierre?”
“Ketahuilah, bertahun- tahun aku adalah seorang pelaut sejak kita berpisah di usia belasan. Aku bekerja di kapal pesiar Eurus dan kapal itu sudah seperti rumahku. Eurus
membawaku berlayar ke berbagai belahan dunia. Dalam banyak pelayaran
berkali-kali Eurus singgah di Inggris dan di sanalah suatu ketika aku
bertemu dengan seorang prajurit yang pernah bertugas di Timur Jauh,
prajurit Theo Linner. Kepadaku dikisahkannya sebuah pengalaman yang
sangat mengerikan. Semuanya ia gambarkan rinci di kertas-kertas ini.”
Dumas memperhatikan dengan seksama
catatan-catatan dan kertas bergambar yang aku berikan. Ia sengaja
mengeja agak keras tulisan di lembar pertama:
“….Aku, prajurit Theo Linner, yang bertugas di
detasemen wilayah Java Hindia Belanda. Pada malam tanggal 10 April
1815, aku dan pasukan mendengar sebuah dentuman keras. Kami pikir ada
musuh datang dan menyerang dengan meriam besar. Letnan Sir Thomas ikut
terbangun dan turut memeriksa keadaan. Kami tak melihat pergerakan
apapun dari yang kami kira musuh. Sir Thomas segera menyampaikan bahwa
itu letusan gunung Merapi. Tapi merapi baik-baik saja. Tiga hari
kemudian kami juga dikabarkan bahwa itu bukan letusan gunung Bromo atau
Kelud. Akulah kemudian yang ditugaskan Sir Thomas memimpin pelayaran
menyusuri Bali dan Sumbawa mencari asal letusan. Pada tanggal 22 April
1815 dalam perjalanan ke Dompo, mulailah aku menyaksikan pemandangan
mengerikan. Banyak mayat terbakar berserakan di mana-mana, telah
membusuk, tertimbun batu dan abu vulkanik. Rumah-rumah tenggelam hingga
merata dengan bumi. Ternak-ternak tidak ada yang selamat. Semakin jauh
pulau aku jelajahi, keadaan yang aku lihat semakin memburuk. Aku jumpai
mayat beribu-ribu. Apa yang kami dengar malam itu ternyata letusan
gunung Tambora yang mematikan lebih dari….”
Dumas berhenti mengeja. Ia meneguk habis
sisa anggur di gelasnya. Masih banyak sebenarnya yang aku ingin ia baca,
tapi Dumas seperti ada yang dipikir-pikirnya.
“Kenapa tidak kau baca hingga selesai?” tanyaku.
“Apa perlunya aku baca hingga selesai?”
“Kau tidak tertarik?”
“Maksudmu?”
Aku tersenyum getir. Untuk beberapa saat
jari-jemariku hanya mengetuk daun meja. Lalu aku berkata kepada Dumas,
“Dua bulan aku mengejarmu di Rue Saint-Jacques ini, kau masih perlu
bertanya seperti itu? Tidakkah kau ingin menulis apa yang aku bawa ini,
Davy? Terus terang, kertas-kertas yang kau sepelekan ini aku beli
seratus frank dari prajurit itu. Tapi aku bukan bicara uangnya. Aku
hanya bicara bagaimana bersemangatnya aku saat membelinya semata-mata
karena aku ingat kau. Aku pikir ini bisa jadi bahan untuk tulisanmu atau
setidaknya bisa menjadi referensi dalam novel-novelmu selanjutnya.”
Dumas menggulung kembali kertas-kertas
bawaanku dengan seksama. Dengan wajah serius ia mengembalikannya
kepadaku. “Katakan saja, berapa sebenarnya kau butuh uang dariku,
Calpierre?”
Kesabaranku habis. Kali ini ucapannya benar-benar menghina. Perasaanku mengatakan demikian.
Namun Dumas justru semakin menyerang emosiku. “Bagaimana kalau aku beri kau limaribu frank dan kita bakar kertas ini? Kurang?”
“Brengsek kau!” aku bangkit sambil menampar
meja. Kemudian aku bergegas bayar anggur ke pemilik kedai, lantas pergi
tanpa memperdulikan lagi Dumas yang hanya terpaku melihat kemarahanku.
Berbulan-bulan lamanya aku berusaha
menghilangkan Dumas dalam ingatanku. Ternyata aku tak bisa. Masa
kanak-kanak kami berdua yang penuh nestapa sulit memutuskan arti
pertemanan. Aku memang layak kecewa, kemasyuran dan kejayaan begitu
cepat mengikis Dumas yang pernah aku kenal.
Dua tahun berlalu setelah peristiwa di kedai
Valia, aku meninggalkan Paris karena mendapatkan pekerjaan di Yunani.
Di Yunani ketampananku berhasil memikat seorang putri bangsawan dan aku
menikahinya hingga ia memberiku dua anak. Tahun 1825, saat menemani
istriku menghadiri proses pemakaman seorang penyair romantik yang
dikaguminya, tak sengaja aku bertemu Dumas lagi yang turut hadir di
pemakaman itu.
“Kau pengagum Lord Byron?” katanya, sesaat setelah pemakaman usai.
“Tidak. Aku menemani wanita itu. Dia adalah istriku yang sangat mengagumi puisi-puisi Lord Byron.”
“Istrimu? Cantik juga dia. Banyak wanita
muda kelas atas menyukai Lord Byron, bukan puisinya. Ia memang banyak
pemuja di manapun ia berada. Semoga setelah kematiannya, hanya sedikit
saja wanita yang jadi gila.”
Aku tak berminat mengenalkan istriku secara
khusus ke Dumas setelah mendengar kalimat-kalimatnya. Ia mungkin
bermaksud menyamakan istriku dengan “pelacur-pelacur” sebagaimana
reputasi buruk yang belakangan melekat pada diri Lord Byron. Penyair
romantik yang baru meninggal itu memang selalu menggemparkan berkait
kehidupan seksualnya yang liar dan absurd bersama kekasih-kekasihnya
yang tak terhitung di Eropa.
“Bolehkah aku bertamu khusus ke rumahmu?” tiba-tiba Dumas menawarkan diri.
Meski bimbang dan ragu, aku bersikap seolah tak ada masalah. “Boleh. Satu kehormatan untukku. Kapan?”
“Bagaimana jika sekarang? Aku ikut kalian pulang.”
“OWh. Oke, tidak masalah.”
Satu jam kemudian aku dan Dumas sudah duduk
semeja di rumahku. Istriku, Allesys, hanya aku perkenankan menghidangkan
minuman untuk kami. Aku tak ingin ada kata-kata Dumas melukainya jika
ia ikut bergabung di meja. Kesempatan bertemu Dumas tak aku sia-siakan
untuk membicarakan kembali naskah Tambora yang pernah aku perlihatkan
padanya di Paris.
Dumas hanya tertegun setelah aku
mempersoalkannya lagi. “Rupanya kau sangat terobsesi pada letusan gunung
paling mengerikan itu. Kau pikir hanya prajurit Inggris itu saja yang
merekam kejadiannya? Ketahuilah, ia hanya mengambil uang darimu. Ia tak
hanya menjual cerita itu kepadamu, tapi kepada setiap orang yang
tertarik. Itu juga yang dilakukan oleh petualang-petualang Eropa
lainnya. Ketahuilah, banyak pelayaran dagang Eropa berada di Timur saat
gunung itu meletus. Guncangan dan kengerian bencana yang ditimbulkan
Tambora menginspirasi banyak pelaut untuk mencatat peristiwa itu dan
kebanyakan mereka mulai menjualnya sebagaimana yang dilakukan prajurit
Inggris itu kepadamu.”
“Kenapa itu tidak menginspirasimu?”
“Untuk apa?”
“Bukankah setiap penulis besar selalu bereaksi cepat atas pristiwa-peristiwa besar di jagat ini?”
“Ya. Seharusnya para penulis Eropa bereaksi
saat mendengar tambora meletus. Tetapi di mana letak ketakjuban dan
orisionalitasnya lagi kalau masyarakat Eropa sudah banyak
mengkonsumsinya dari tulisan-tulisan yang mereka beli dari
petualang-petualang atau pelaut-pelaut yang menyaksikan langsung
peristiwa itu dari kapal. Inilah yang dipikirkan Percy, Lord Byron,
Hugo, Gogol, Dylon, Stendhal, Balzal, Dickens, Camus, juga aku. Instink
kami ternyata sama. Jika kami menulis Tambora, kami justru takut menjadi
bahan tertawaan masyarakat yang sudah tahu lebih banyak. Terbukti,
hingga sekarang tak ada satupun penulis Eropa berkarya untuk letusan
gunung paling tragis itu, karena ragu, karena takut. Lagipula jika kami
berpikir harus menulisnya, lucu bukan jika muncul puluhan model cerita
yang sama dari banyak penulis yang berbeda.”
“Bagaimana dengan novel horor Frankstein
yang ditulis Percy, novel The Vampyre karangan Polidori, dan puisi
Darkness yang ditulis Byron. Tidakkah kemuraman dan cekam di tiga karya
itu dapat dikatakan mengadopsi dari kengerian dan masa-masa suram yang
ditimbulkan Tambora?”
Dumas menggeleng. “Masyarakat yang
menyimpulkan begitu. Tapi aku pernah mendiskusikannya bersama Percy,
Polidori, dan Byron di Geneva. Ketiganya menolak persepsi itu. Kami
sepakat biarlah Tambora menjadi porsi para penulis sejarah saja.”
“Jadi, apa yang aku beli dari Theo Linner ini sama sekali tak berguna? Ah, bodohnya aku.”
“Tidak. Tak ada yang bodoh. Simpan saja catatan itu. Ia akan berguna, tapi kelak.”
“Bagaimana jika kau saja yang menyimpannya?” pintaku.
Dumas tak keberatan.
Seperginya Dumas dari rumahku, naskah Tambora itu ikut pergi bersamanya .
Itulah perjumpaan terakhirku dengan Dumas di
Eropa. Bertahun-tahun kemudian epidemi tipus menyelimuti kawasan Eropa.
Istri dan anak-anakku tak bisa selamat dari penyakit mematikan itu. Aku
frustasi dan nyaris gila setelah menjalani hidup sendiri. Terpikir
olehku menjual seluruh harta peninggalan Allesys dan kembali ke Paris.
Namun di Paris aku tetap kesepian.
Kapten kapal Jlene-Amelie bernama Jacques
Opotiene yang telah lama aku kenal suatu ketika menawariku sebuah
pelayaran menuju Hindia Belanda. Aku tak berpikir dua kali dan segera
mengikuti pelayaran itu. Di Hindia Belanda aku kembali menemukan
kedamaianku. Saat itu Hindia Belanda diperintah oleh Gubernur Jenderal
Jan Cornelis Reijnst.
Aku menetap lama di Batavia dan enggan
kembali ke paris. Dari Batavia aku kemudian hidup berpindah-pindah. Aku
bahkan sempat ke Bima dan berbulan-bulan menetap di kaki gunung Tambora
untuk menyaksikan secara langsung wajah gunung itu setelah meletus
dasyat pada tahun 1815.
Sepulang dari Tambora aku mengganti namaku
menjadi Muhamad Ramdan dan menikahi seorang gadis Sunda bernama Ratna. Aku memeluk agama Islam. Seorang kerabat Ratna menjadi guru dan pembimbingku. Kemudian bersama Ratna aku memutuskan kembali ke Batavia untuk menetap di sana.
Tahun 1856 kapal Jlene-Amelie kembali
bersandar di Batavia. Saat menyaksikan kapal itu di pelabuhan, seorang
pria bertopi dengan peti berat bawaannya tiba-tiba menghampiriku. Aku
nyaris saja tak mengenalinya lagi kalau saja ia tak menyapaku lebih
dulu.
“Calpierre! Calpierre Rosavel!” Lelaki gemuk itu membuka topinya dan berteriak-terik memanggil nama Perancis-ku.
“Davy!” Aku tak mengira yang berdiri di
depanku ternyata Dumas Davy de la Pailletiere. Dengan perasaan sukacita
segera aku bawa Dumas singgah ke rumahku.
Kedatangan Dumas ke Batavia mula-mula hanya
untuk menghilangkan kejenuhan dari berbagai kesibukannya di Paris.
Tetapi aku tahu, siapa lagi yang menawarkan perjalanan seperti ini kalau
bukan kapten Jacques Opotiene. Dumas tak lama berada di Batavia. Ia
kembali ke Paris satu tahun kemudian. Selama di Batavia setidaknya ia
menyelesaikan satu novel berjudul The Gold Thieve dan saat meninggalkan
batavia ia berjanji padaku akan menulis sebuah novel lagi berjudul The
Black Tambora. Namun bertahun-tahun lamanya rencana novel itu tak
kunjung aku dengar beritanya. Pada tahun 1870 aku hanya mendengar kabar
bahwa Dumas telah tutup usia.
Kepergian Dumas bukan akhir bagiku untuk
menyenangi karya-karya sastra. Di usia 69 tahun aku mulai tertarik
menulis. Menjadi seorang penulis ternyata sulit, namun aku tak pernah
menyerah. Ya, aku, Calpierre Rosavel alias Muhamad Ramdan, tak pernah
menyerah meski tiga naskah novel pertamaku tak pernah sampai ke penerbit
di Paris karena kapal Jlene-Amelie yang membawanya tenggelam di laut
lepas dan aku tak menyimpan selembarpun salinannya. Di usia 74 tahun
aku coba lagi menyelesaikan satu naskah novel, namun tetap saja, aku gagal. Akhirnya aku putuskan berhenti menulis. Impian tinggal impian. Di ujung usia, aku bahkan tak lagi menyentuh novel-novel atau cerita fiksi apapun, kecuali mengisi hari-hariku dengan membaca Al Quran yang membuatku benar-benar mendapati ketenangan. Jika kesehatanku belum memburuk, Insya Allah, aku ingin menjadi tamu Allah di Baitullah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar