OFFICE: Jl. Perwira II No. 42 Kedamaian - Bandar Lampung CONTACT PERSON : 08117226668 - 081274170533 - 081278196840

Rabu, 22 Oktober 2014

CATATAN MUHAMAD RAMDAN


Ketika ia berhenti menjadi juru tulis di kantor pengacara, ia pindah ke Paris dan menetap di istana  seorang bangsawan. Kepindahannya ke Paris bertahun-tahun menarik perhatianku terutama setelah aku amati ia menjadi koresponden koran terkenal. Lama aku mengikuti tulisan-tulisannya yang dimuat di koran “Le Messager” dan koran “Le Moniteur” yang laris di Paris. Setelah aku ketahui ia mulai lagi menulis novel dan sandiwara, aku tak sabar lagi menemuinya.


Meski istana bangsawan itu adanya di Rue saint-Jacques, aku yang tinggal di Rue de la Fontaine merasa tak keberatan datang dua hari sekali kesana, mengintai-intai di luar istana, menunggu kesempatan bisa bertemu empat mata dengannya. Aku biasanya hanya menunggu di jalan Alles de Bierre tempat biasa kereta kuda yang membawa ia dan sang bangsawan lewat. Aku berulang-ulang meninggalkan pesanku pada Kabir, pesuruh depan istana, yang setiap hari membuka tutup pintu gerbang setiap kereta kuda itu keluar masuk. Aku tabah menunggu sepanjang pesan-pesan itu belum berbalas.

Barulah suatu sore aku lihat Kabir berlari-lari ke arahku. Ia membawa berita baik. “Besok siang kau ditunggu di kedai anggur Valia,” kata pesuruh berkulit gelap itu.

Wajahku seketika cerah. Segera aku berikan dua Frank untuk Kabir atas jerih payahnya menolongku.
Jam duabelas siang keesokan harinya, aku sudah duduk tenang di salah satu meja di kedai anggur Valia. Kedai anggur ini sebenarnya tidak cukup terkenal di Paris, selain karena letaknya di jalan sepi, mungkin karena pemiliknya tak cukup modal untuk memasok anggur-anggur terbaik. Namun aku sempat berpikir pula kenapa Dumas memilih kedai ini untuk menemuiku. Apakah ia menganggapku kurang terhormat? Atau mungkin ia tak ingin dipergoki oleh kalangannya, kalangan pergaulannya yang terhormat yang kebanyakan para pria dan wanita terhormat di Paris, ia takut bahwa ia sedang menemui aku, seseorang dari kelas paria. Jika demikian, berarti Dumas benar-benar telah mengabaikanku. Kehormatan yang telah ia dapatkan bisa jadi telah mengubahnya, namun semua tetap saja tak bisa menghapus jejak masa kecil kami saat pernah bersama-sama hidup seatap dalam asuhan Bapak Florentere. Padri itulah yang memelihara kami di Marseille hingga kami beranjak remaja.

Di kedai ternyata aku dibuat lama menunggu. Lewat jam dua siang barulah teman terhormatku itu datang.

Dari pintu kedai aku melihat kedatangannya dan di pelupukku Dumas Davy tampak sudah tak bersemangat memandangku.Tak apa.

Aku sengaja berdiri tegak. “Davy!” kataku menyambutnya dengan dua tangan ingin memeluk. “Apakah kau masih mengenalku?”

Teman terhormat bernama lengkap Dumas Davy de la pailletirie dan bernama pena Alexandre Dumas itu hanya mengangguk tak antusias. Ia bahkan tak ingin memelukku meski sudah sepuluh tahun kami berpisah. Namun aku coba tak kecewa dengan sikapnya itu. Segera aku tuang anggur untuk kami berdua dari botol yang telah aku pesan sejak tadi.

Ada apa gerangan, Calpierre? Bersusah payah kau kejar-kejar aku hingga di sini.”

“Aku memang tinggal di sini. Sudah lama juga Marseille aku tinggalkan. Rumahku di Autevil. Tepatnya di Rue de la Fontaine.”

“Oh,” mata Dumas berkeliaran memperhatikan penampilanku. “Kau jauh lebih kurus sekarang dan selera berpakaianmu semakin buruk juga. Apakah kau butuh pekerjaan hingga perlu mencariku?”

Aku nyaris tersedak anggur mendengar kata-kata Dumas yang menurutku penghinaan. Tapi tak apa, sekuat-kuatnya aku mencoba menahan diri. “Tidak. Aku tidak butuh pekerjaan dari siapapun,” jawabku. “ Aku sudah berbahagia dengan keadaanku sekarang. Aku hanya ingin menyampaikan sesuatu kepadamu. Sebenarnya ini sudah lama sekali.”

“Dumas mengangkat gelas anggur dan mulai minum. “Sesuatu?”

“Ya.”

“Semoga bukan hal-hal yang merepotkanku. Ketahuilah, aku sedang sangat sibuk akhir-akhir ini. Aku menjalankan pekerjaan berkelas sekarang.”

“Aku tahu. Siapa yang tidak kenal kau, seorang penulis yang sedang naik daun.”
Wajah Dumas diliputi kesenangan mendengar aku memujinya.

“Apalagi bulan-bulan ini, Pierre. Aku sengaja pindah ke sini untuk menyiapkan novel baruku,” ujar Dumas kemudian seolah ingin menjelaskan betapa sedang sibuknya ia di Paris.

Perubahan perangai Dumas yang drastis tak sedikitpun mempengaruhiku. “Pasti itu novel yang hebat,” pujiku antusias. “ Ketahuilah, aku selalu mengikuti tulisan-tulisanmu akhir-akhir ini. Dari situlah aku kemudian berharap. Aku tidak bisa menulis. Jadi aku hanya berharap kepadamu.”

“Aku?”

“Ya!” Aku segera mengeluarkan bergulung-gulung kertas yang selalu aku bawa.

“Apa itu, Pierre?”

“Ketahuilah, bertahun- tahun aku adalah seorang pelaut sejak kita berpisah di usia belasan. Aku bekerja di kapal pesiar Eurus dan kapal itu sudah seperti rumahku. Eurus membawaku berlayar ke berbagai belahan dunia. Dalam banyak pelayaran berkali-kali Eurus singgah di Inggris dan di sanalah suatu ketika aku bertemu dengan seorang prajurit yang pernah bertugas di Timur Jauh, prajurit Theo Linner. Kepadaku dikisahkannya sebuah pengalaman yang sangat mengerikan. Semuanya ia gambarkan rinci di kertas-kertas ini.”

Dumas memperhatikan dengan seksama catatan-catatan dan kertas bergambar yang aku berikan. Ia sengaja mengeja agak keras tulisan di lembar pertama:

“….Aku, prajurit Theo Linner, yang bertugas di detasemen  wilayah Java Hindia Belanda. Pada malam tanggal 10 April 1815, aku dan pasukan mendengar sebuah dentuman keras. Kami pikir ada musuh datang dan menyerang dengan meriam besar. Letnan Sir Thomas ikut terbangun dan turut memeriksa keadaan. Kami tak melihat pergerakan apapun dari yang kami kira musuh. Sir Thomas segera menyampaikan bahwa itu letusan gunung Merapi. Tapi merapi baik-baik saja. Tiga hari kemudian kami juga dikabarkan bahwa itu bukan letusan gunung Bromo atau Kelud. Akulah kemudian yang ditugaskan Sir Thomas memimpin pelayaran menyusuri Bali dan Sumbawa mencari asal letusan. Pada tanggal 22 April 1815 dalam perjalanan ke Dompo, mulailah aku menyaksikan pemandangan mengerikan. Banyak mayat terbakar berserakan di mana-mana, telah membusuk, tertimbun batu dan abu vulkanik. Rumah-rumah tenggelam hingga merata dengan bumi. Ternak-ternak tidak ada yang selamat. Semakin jauh pulau aku jelajahi, keadaan yang aku lihat semakin memburuk. Aku jumpai mayat beribu-ribu. Apa yang kami dengar malam itu ternyata letusan gunung Tambora yang mematikan lebih dari….

Dumas berhenti mengeja. Ia meneguk habis sisa anggur di gelasnya. Masih banyak sebenarnya yang aku ingin ia baca, tapi Dumas seperti ada yang dipikir-pikirnya.

“Kenapa tidak kau baca hingga selesai?” tanyaku.

“Apa perlunya aku baca hingga selesai?”

“Kau tidak tertarik?”

“Maksudmu?”

Aku tersenyum getir. Untuk beberapa saat jari-jemariku hanya mengetuk daun meja. Lalu aku berkata kepada Dumas, “Dua bulan aku mengejarmu di Rue Saint-Jacques ini, kau masih perlu bertanya seperti itu? Tidakkah kau ingin menulis apa yang aku bawa ini, Davy? Terus terang, kertas-kertas yang kau sepelekan ini aku beli seratus frank dari prajurit itu. Tapi aku bukan bicara uangnya. Aku hanya bicara bagaimana bersemangatnya aku saat membelinya semata-mata karena aku ingat kau. Aku pikir ini bisa jadi bahan untuk tulisanmu atau setidaknya bisa menjadi referensi dalam novel-novelmu selanjutnya.”

Dumas menggulung kembali kertas-kertas bawaanku dengan seksama. Dengan wajah serius ia mengembalikannya kepadaku. “Katakan saja, berapa sebenarnya kau butuh uang dariku, Calpierre?”

Kesabaranku habis. Kali ini ucapannya benar-benar menghina. Perasaanku mengatakan demikian.
Namun Dumas justru semakin menyerang emosiku. “Bagaimana kalau aku beri kau limaribu frank dan kita bakar kertas ini? Kurang?”

“Brengsek kau!” aku bangkit sambil menampar meja. Kemudian aku bergegas bayar anggur ke pemilik kedai, lantas pergi tanpa memperdulikan lagi Dumas yang hanya terpaku melihat kemarahanku.

Berbulan-bulan lamanya aku berusaha menghilangkan Dumas dalam ingatanku. Ternyata aku tak bisa. Masa kanak-kanak kami berdua yang penuh nestapa sulit memutuskan arti pertemanan. Aku memang layak kecewa, kemasyuran dan kejayaan begitu cepat mengikis Dumas yang pernah aku kenal.

Dua tahun berlalu setelah peristiwa di kedai Valia, aku meninggalkan Paris karena mendapatkan pekerjaan di Yunani. Di Yunani ketampananku berhasil memikat seorang putri bangsawan dan aku menikahinya hingga ia memberiku dua anak. Tahun 1825, saat menemani istriku menghadiri proses pemakaman seorang penyair romantik yang dikaguminya, tak sengaja aku bertemu Dumas lagi yang turut hadir di pemakaman itu.

“Kau pengagum Lord Byron?” katanya, sesaat setelah pemakaman usai.

“Tidak. Aku menemani wanita itu. Dia adalah istriku yang sangat mengagumi puisi-puisi Lord Byron.”

“Istrimu? Cantik juga dia. Banyak wanita muda kelas atas menyukai Lord Byron, bukan puisinya. Ia memang banyak pemuja di manapun ia berada. Semoga setelah kematiannya, hanya sedikit saja wanita yang jadi gila.”

Aku tak berminat mengenalkan istriku secara khusus ke Dumas setelah mendengar kalimat-kalimatnya. Ia mungkin bermaksud menyamakan istriku dengan “pelacur-pelacur” sebagaimana reputasi buruk yang belakangan melekat pada diri Lord Byron. Penyair romantik yang baru meninggal itu memang selalu menggemparkan berkait kehidupan seksualnya yang liar dan absurd bersama kekasih-kekasihnya yang tak terhitung di Eropa.

“Bolehkah aku bertamu khusus ke rumahmu?” tiba-tiba Dumas menawarkan diri.

Meski bimbang dan ragu, aku bersikap seolah tak ada masalah. “Boleh. Satu kehormatan untukku. Kapan?”

“Bagaimana jika sekarang? Aku ikut kalian pulang.”

“OWh. Oke, tidak masalah.”

Satu jam kemudian aku dan Dumas sudah duduk semeja di rumahku. Istriku, Allesys, hanya aku perkenankan menghidangkan minuman untuk kami. Aku tak ingin ada kata-kata Dumas melukainya jika ia ikut bergabung di meja. Kesempatan bertemu Dumas tak aku sia-siakan untuk membicarakan kembali naskah Tambora yang pernah aku perlihatkan padanya di Paris.

Dumas hanya tertegun setelah aku mempersoalkannya lagi. “Rupanya kau sangat terobsesi pada letusan gunung paling mengerikan itu. Kau pikir hanya prajurit Inggris itu saja yang merekam kejadiannya? Ketahuilah, ia hanya mengambil uang darimu. Ia tak hanya menjual cerita itu kepadamu, tapi kepada setiap orang yang tertarik. Itu juga yang dilakukan oleh petualang-petualang Eropa lainnya. Ketahuilah, banyak pelayaran dagang Eropa berada di Timur saat gunung itu meletus. Guncangan dan kengerian bencana yang ditimbulkan Tambora menginspirasi banyak pelaut untuk mencatat peristiwa itu dan kebanyakan mereka mulai menjualnya sebagaimana yang dilakukan prajurit Inggris itu kepadamu.”

“Kenapa itu tidak menginspirasimu?”

“Untuk apa?”

“Bukankah setiap penulis besar selalu bereaksi cepat atas pristiwa-peristiwa besar di jagat ini?”

“Ya. Seharusnya para penulis Eropa bereaksi saat mendengar tambora meletus. Tetapi di mana letak ketakjuban dan orisionalitasnya lagi kalau masyarakat Eropa sudah banyak mengkonsumsinya dari tulisan-tulisan yang mereka beli dari petualang-petualang atau pelaut-pelaut yang menyaksikan langsung peristiwa itu dari kapal. Inilah yang dipikirkan Percy, Lord Byron, Hugo, Gogol, Dylon, Stendhal, Balzal, Dickens, Camus, juga aku. Instink kami ternyata sama. Jika kami menulis Tambora, kami justru takut menjadi bahan tertawaan masyarakat yang sudah tahu lebih banyak. Terbukti, hingga sekarang tak ada satupun penulis Eropa berkarya untuk letusan gunung paling tragis itu, karena ragu, karena takut. Lagipula jika kami berpikir harus menulisnya, lucu bukan jika muncul puluhan model cerita yang sama dari banyak penulis yang berbeda.”

“Bagaimana dengan novel horor Frankstein yang ditulis Percy, novel The Vampyre karangan Polidori, dan puisi Darkness yang ditulis Byron. Tidakkah kemuraman dan cekam di tiga karya itu dapat dikatakan mengadopsi dari kengerian dan masa-masa suram yang ditimbulkan Tambora?”

Dumas menggeleng. “Masyarakat yang menyimpulkan begitu. Tapi aku pernah mendiskusikannya bersama Percy, Polidori, dan Byron di Geneva. Ketiganya menolak persepsi itu. Kami sepakat biarlah Tambora menjadi porsi para penulis sejarah saja.”

“Jadi, apa yang aku beli dari Theo Linner ini sama sekali tak berguna? Ah, bodohnya aku.”

“Tidak. Tak ada yang bodoh. Simpan saja catatan itu. Ia akan berguna, tapi kelak.”

“Bagaimana jika kau saja yang menyimpannya?” pintaku.
Dumas tak keberatan.

Seperginya Dumas dari rumahku, naskah Tambora itu ikut pergi bersamanya .

Itulah perjumpaan terakhirku dengan Dumas di Eropa. Bertahun-tahun kemudian epidemi tipus menyelimuti kawasan Eropa. Istri dan anak-anakku tak bisa selamat dari penyakit mematikan itu. Aku frustasi dan nyaris gila setelah menjalani hidup sendiri. Terpikir olehku menjual seluruh harta peninggalan Allesys dan kembali ke Paris. Namun di Paris aku tetap kesepian.

Kapten kapal Jlene-Amelie bernama Jacques Opotiene yang telah lama aku kenal suatu ketika menawariku sebuah pelayaran menuju Hindia Belanda. Aku tak berpikir dua kali dan segera mengikuti pelayaran itu. Di Hindia Belanda aku kembali menemukan kedamaianku. Saat itu Hindia Belanda diperintah oleh Gubernur Jenderal Jan Cornelis Reijnst.

Aku menetap lama di Batavia dan enggan kembali ke paris. Dari Batavia aku kemudian hidup berpindah-pindah. Aku bahkan sempat ke Bima dan berbulan-bulan menetap di kaki gunung Tambora untuk menyaksikan secara langsung wajah gunung itu setelah meletus dasyat pada tahun 1815. 

Sepulang dari Tambora aku mengganti namaku menjadi Muhamad Ramdan dan menikahi seorang gadis Sunda bernama Ratna. Aku memeluk agama Islam. Seorang kerabat Ratna menjadi guru dan pembimbingku. Kemudian bersama Ratna aku memutuskan kembali ke Batavia untuk menetap di sana.

Tahun 1856 kapal Jlene-Amelie kembali bersandar di Batavia. Saat menyaksikan kapal itu di pelabuhan, seorang pria bertopi dengan peti berat bawaannya tiba-tiba menghampiriku. Aku nyaris saja tak mengenalinya lagi kalau saja ia tak menyapaku lebih dulu.

“Calpierre! Calpierre Rosavel!” Lelaki gemuk itu membuka topinya dan berteriak-terik memanggil nama Perancis-ku.

“Davy!” Aku tak mengira yang berdiri di depanku ternyata Dumas Davy de la Pailletiere. Dengan perasaan sukacita segera aku bawa Dumas singgah ke rumahku.

Kedatangan Dumas ke Batavia mula-mula hanya untuk menghilangkan kejenuhan dari berbagai kesibukannya di Paris. Tetapi aku tahu, siapa lagi yang menawarkan perjalanan seperti ini kalau bukan kapten Jacques Opotiene. Dumas tak lama berada di Batavia. Ia kembali ke Paris satu tahun kemudian. Selama di Batavia setidaknya ia menyelesaikan satu novel berjudul The Gold Thieve dan saat meninggalkan batavia ia berjanji padaku akan menulis sebuah novel lagi berjudul The Black Tambora. Namun bertahun-tahun lamanya rencana novel itu tak kunjung aku dengar beritanya. Pada tahun 1870 aku hanya mendengar kabar bahwa Dumas telah tutup usia.

Kepergian Dumas bukan akhir bagiku untuk menyenangi karya-karya sastra. Di usia 69 tahun aku mulai  tertarik menulis. Menjadi seorang penulis ternyata sulit, namun aku tak  pernah menyerah. Ya, aku, Calpierre Rosavel alias Muhamad Ramdan, tak pernah menyerah meski tiga naskah novel pertamaku tak pernah sampai ke penerbit di Paris karena kapal Jlene-Amelie yang membawanya tenggelam di laut lepas dan aku tak menyimpan selembarpun salinannya.  Di usia 74 tahun aku coba lagi menyelesaikan satu naskah novel, namun tetap saja, aku gagal. Akhirnya aku putuskan berhenti menulis. Impian tinggal impian. Di ujung usia, aku bahkan tak lagi menyentuh novel-novel atau cerita fiksi apapun, kecuali mengisi hari-hariku dengan membaca Al Quran yang membuatku benar-benar mendapati ketenangan. Jika kesehatanku belum memburuk, Insya Allah, aku ingin menjadi tamu Allah di Baitullah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar